Selasa, 07 April 2009

Perempuan Dalam Politik

 

Kepemimpinan perempuan kini tengah menjadi sebuah kontroversi di masyarakat. Begitu banyak perempuan yang ingin memimpin namun orang masih memandang sebelah mata terhadap mereka, padahal setiap orang dapat menjadi pemimpin jika memang mampu, tanpa membedakan apakah ia laki-laki atau perempuan.

Gender menjadi hal yang sangat sensitif terhadap masalah kepemimpinan. Menurut sebuah penelitian, menyebutkan bahwa sekalipun proporsi perempuan dalam posisi­-posisi manajer (pemimpin) meningkat tetapi tetap saja terdapat kera­guan me­nge­nai keahlian kepemimpinan perempuan. Bagaimana fenomena ini terus terjadi? Apakah sebuah konstruksi sosial, atau malah sebuah dogma?

 Warisan pendidikan kita juga ikut berkontribusi dalam hal ini. Pendidikan kita yang selalu diikuti oleh ketimpangan gender, sepertinya menjadi sebuah legalitas absolut dimana mengarahkan seorang laki-laki itu lebih unggul. Selain itu fenomena yang berlangsung dari generasi ke generasi, menjadikan sebuah keyakinan di masyarakat yang akhirnya membentuk sebuah kultur dimana kodrat perempuan tidak tepat sebagai pemimpin.

Agama pun menjadi salah satu faktor pemicu diskriminasi ini, di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, kepemimpinan perempuan seringkali mendapat pertentangan terutama dari para ulama. Padahal Allah menjadikan manusia adalah sebagai kalifah di muka bumi. Dan tidak disebutkan laki-laki diciptakan untuk menjadi kalifah dimuka bumi. Jelas sekali bukan?

Pada kenyataannya jika kita mau melihat sejarah, kepemimpinan perempuan telah ada sejak zaman Nabi Sulaiman Alaihiwassalam, yang jatuh cinta pada ratu negeri Sa’ba yang bernama Ratu Balqis. Nabi Sulaiman pun memperistri Ratu Balqis untuk mempersatukan dua kerajaan tanpa merendahkan kedudukan Balqis sebagai Ratu. Kepemimpinan ini pun berlanjut, kita dapat melihat negara Inggris, yaitu negara kolonial yang paling berkuasa sebelum Perang Dunia II, dan negara yang bahasanya digunakan di seluruh dunia, diperintah oleh seorang Ratu perempuan bernama Ratu Elizabeth. Dan pada pemerintahannya, negara ini mencapai kejayaan yang amat besar.

 

Keterwakilan perempuan di kanca politik

Perempuan pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara dalam mengatur kesejahteraan manusia. Namun realitas yang ada perempuan masih terkungkung dengan tidak adanya kesempatan untuk mengaktualisasikan perannya. Mereka terjepit oleh persoalan gender, yang membuat ruang geraknya terbatas, sehingga seringkali mereka dianggap tidak layak menjadi politisi yaitu dunia yang didominasi oleh laki-laki.

Keterlibatan perempuan dalam kanca politik merupakan suatu usaha keterwakilannya yang kurang di lembaga politik. Peran perempuan di politik  dirasa masih minim mengingat sampai saat ini hanya 12 persen saja perempuan yang duduk di DPR. Hal ini sangat tidak memadai jika kita melihat perspektif perlunya mengedepankan pengalaman bersama antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai suatu kebijakan politik.

Pada pemilu 2009 ini terdapat suatu wacana dimana usaha pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30 persen. Hal ini mejadi sebuah kontroversi dimana aturan ini dirasa memberi gerak untuk perekrutan kaum perempuan dalam politik. Namun satu sisi aturan ini membatasi ruang gerak perempuan, karena jika dilihat dari jumlahnya dirasa tidak adil.  

Bagaimana bisa peraturan ini diberlakukan? Bukankah ini sama saja dengan “Diskriminasi gender”? Perempuan dan laki-laki sama saja, mereka sama-sama memiliki kapabilitas untuk menjadi anggota legislatif. Siapa pun yang mampu memiliki peluang untuk itu, namun kenapa masih dibatasi?

 

Seharusnya mereka dibiarkan berkompetisi secara bebas untuk menunjukan siapa yang capable. Namun kelihatannya budaya kita terlalu mengakar, dimana saat ini perempuan masih dianggap orang nomor dua setelah laki-laki. Perempuan pun masih belum diterima sepenuhnya oleh kelompoknya sendiri sesama perempuan ketika mengambil peran lebih, perempuan dianggap hanya cukup menjadi makmum.  sehingga untuk mencapai persamaan dan kesetaraan antar perempuan dan laki-laki sangat sulit untuk direalisasikan.

Ironis memang jika kita melihat demokrasi di negara kita. Ini merupakan produk cacat dari sistem demokrasi kita, yang musti dibenahi. Persamaan (egaliter) di segala bidang harus diperjuangkan. Keterwakilan perempuan dalam pemilihan lembaga legislatif nanti hendaknya harus  menunjukan angka yang signifikan agar suara perempuan dapat didengar di pemerintahan. Ini merupakan suatu tantangan bagi kaum perempuan untuk menujukan kiprahnya.

Saat ini gender masih mejadi persoalan dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam bidang politik.  Untuk itu kaum perempuan masih perlu berjuang lebih keras agar porsi keterwakilannya tidak  hanya berdasarkan kuota tetapi atas dasar kemampuan dan sikap politiknya terhadap aspirasi rakyat.